Jangan Anggap Remeh! Utang Piutang Punya Aturan Hukum Mengikat (Ini Dasar Hukumnya)

Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya hampir semua orang pernah bersinggungan dengan hal yang kita sebut utang piutang. Namun banyak sekali yang masih belum paham bahwa perjanjian hutang piutang memiliki aturan yang mengikat.

PERDATA

Disusun oleh: M. Nazril Irham & Fadilla Ibnu Dean

10/2/20252 min read

Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya hampir semua orang pernah bersinggungan dengan hal yang kita sebut utang piutang. Namun banyak sekali yang masih belum paham bahwa perjanjian hutang piutang memiliki aturan yang mengikat.

A. Apa Itu Utang Piutang? Definisi Sederhana dan Dasar Hukum (Pasal 1754 KUHPerdata)

Dalam kehidupan bermasyarakat saat ini yang bersifat konsumtif, dan meningkatnya kebutuhan seiring dengan perkembangan zaman. Terkadang penghasilan masyarakat dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga, kegiatan hutang piutang menjadi salah satu jawaban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan. Lalu apa itu utang piutang? Secara sederhana, utang adalah kewajiban atau tanggung jawab seseorang untuk mengembalikan uang atau barang yang telah dipinjam. Sedangkan piutang adalah hak seseorang untuk menerima kembali uang atau barang yang telah dipinjam.

Dalam perspektif hukum, utang piutang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, dimana dijelaskan bahwa pinjam meminjam adalah perjanjian dimana pihak yang memberikan barang habis pakai (kreditur), dan pihak yang menerima (debitur) berkewajiban untuk mengembalikan barang yang telah diterima sesuai dengan nominal dan jenis yang sama. Artinya utang piutang bukan hanya sebuah janji lisan, tetapi memiliki dasar hukum yang mengikat.

B. Sanksi Hukum dan Konsep Daluwarsa: Kapan Utang Secara Hukum "Hangus"?

Utang piutang merupakan salah satu bentuk dari perikatan atau perjanjian sesuai pasal 1, sehingga memiliki sanksi yang diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Ketika seseorang melakukan kegiatan utang piutang, muncul hubungan antara peminjam (debitur) dan pemberi pinjaman (kreditur). Dalam sebuah perjanjian sendiri harus berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, apabila salah satu dari kedua belah pihak melakukan pelanggaran maka terdapat akibat hukum yang dapat terjadi, misalnya:

  1. Wanprestasi ( Ingkar Janji) -Pasal 1239 KUHPer

  2. Tuntutan Ganti Rugi -Pasal 1243 KUHPer

  3. Gugatan ke Pengadilan -Pasal 118 HIR

  4. Kepailitan -UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

  5. Sita Jaminan -Pasal 1131-1132 KUHPer

Selain adanya akibat hukum yang disebabkan oleh pelanggaran kesepakatan dari salah satu pihak, terdapat pula beberapa penyebab dihapusnya sebuah perikatan. Salah satunya yaitu konsep yang dikenal sebagai daluwarsa. Banyak orang tidak mengetahui bahwa hak untuk menagih hutang tidak berlaku selamanya.

Berdasarkan pada Pasal 1381 KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu penyebab hapusnya perikatan adalah karena daluwarsa. Daluwarsa (verjaring), adalah hapusnya hak atau kewajiban hukum karena lewatnya jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang. Dalam utang piutang hak kreditur untuk menagih pembayaran dapat hilang apabila tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu.

Daluwarsa menghapus kewajiban debitur dan hak kreditur secara hukum, sebagai bentuk dari nilai dasar kepastian hukum. Pada Pasal 1967 KUHPerdata menegaskan bahwa segala tuntutan dapat dihapus karena daluwarsa setelah lewat waktu 30 tahun. Jadi apabila kreditur tidak melakukan penagihan selama 30 tahun, maka kreditur kehilangan hak menagihnya. Meski secara hukum utang dianggap daluwarsa dan tidak memiliki kekuatan hukum, namun secara moral dan sosial utang tetap wajib dibayarkan oleh debitu kepada kreditur.

Sumber :

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 1239, Pasal 1243, Pasal 1381, Pasal 1754, Pasal 1967, dan Pasal 1131–1132.

  • Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Pasal 118 tentang gugatan perdata.

  • Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

  • Subekti, R. (1995). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

  • Soerjono Soekanto (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

  • Rahardjo, S. (2006). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.